OPINI
If
I had my child to raise over again
If
I had my child to raise all over again,
I’d
finger paint more,and paint the finger less.
I’d
do less correcting, and more connecting.
I’d
take my eyes off my watch, and watch with my eyes.
I
would care to know less, and know to care more
I’d
take more hikes, and fly more kites
I’d
stop playing serious, and seriously play
I’d
run through more fields, and gaze at more stars
I’d
more hugging and less tugging
I
would be firm less often, and the house later
I’d
build self-esteem first, and the house later
I’d
teach less about the love of power, and more about the power of love.
(Diane
Loomans, “Full Esteem Ahead”)
D
|
emikian istimewa dan berharganya masa
kanak-kanak terlihat dalam puisi Diane Loomans diatas. Ia berandai-andai
mengulang lagi masa-masa membesarkan anaknya. Tampaknya ia menyesal telah
mengasuh anaknya secara keliru. Namun sayang sang waktu tak bisa diulang.
Pengandaiannya hanya sekadar angan-angan dan mustahil terjadi. Tentu kita
sebagai ibu atau calon ibu tidak menginginkan kejadian serupa pada diri kita
juga, bukan?
Golden
Age, Tahun-Tahun Menentukan
Para peneliti membuktikan
bahwa 50 % kemampuan belajar manusia ditentukan dalam empat tahun pertama
pertumbuhannya. Sedangkan 30% lainnya dibentuk sebelum usia 8 tahun. Tony
Buzan, ahli psikologi dari Inggris, mengatakan bahwa seorang anak dilahirkan
dalam keadaan benar-benar brilian. Kemampuan daya serap bahasa seorang anak
bahkan jauh lebih baik daripada seorang doktor di bidang apapun.
Pada 1964, Benjamin S.
Bloom, professor pendidikan di Universitas Chicago, menerbitkan hasil temuan
risetnya. Dia menemukan bahwa pertumbuhan anak mengalami peningkatan pesat
dalam tahun-tahun pertama dan kemudian mengalami perlambatan. Umumnya
pertumbuhan mencapai separuh kapasitasnya sebelum ulang tahun kelima. Dia
menemukan bahwa anak laki-laki meraih 54 % kemampuan pada ulang tahun ketiga,
32 % lagi antara usia 3 dan 12 tahun. 14 % terakhir terjadi pada ulang tahun ke
18. Dia juga menyimpulkan bahwa pada anak laki-laki dan perempuan, sekitar 50%
kecerdasan terbentuk pada masa antara pembuahan hingga usia 4 tahun. Sekitar 30
% berkembang antara usia 4 hingga 8 tahun. 20 % terakhir berkembang antara
rentang usia 8 hingga 17 tahun.
Bloom juga menganalisa
bahwa kosa kata, pemahaman membaca dan prestasi sekolah secara umum dalam
rentang masa antara kelahiran hingga usia 18 tahun mengalami perkembangan yang
luar biasa. Ini membuat Bloom yakin bahwa kemampuan akademik seorang anak pada
usia 18 tahun, 33 % diantaranya telah terbentuk pada usia 5 tahun. 42 persen
terbentuk antara usia 6 dan 13 tahun, 25 % terbentuk antara usia 13 hingga 18
tahun. Subhanallah.
Survei yang lain menguji
perkembangan 1.206 bayi yang lahir di Christchurch pada 1977. Salah satu temuan
utamanya adalah sebanyak 15 hingga 20 % anak-anak sangat tertinggal
pertumbuhannya karena tidak mendapatkan pemeriksaan kesehatan dan pengamatan
pertumbuhan sejak dini.
Dr. Phil Silvia, seorang
analis mengatakan bahwa survei yang dia lakukan di South Island, Selandia Baru
menunjukkan bahwa betapa pentingnya tahun-tahun pertama perkembangan anak. Itu
tidak berarti bahwa tahun-tahun yang lain tidak penting, tetapi riset Dr. Phil
Silvia menunjukkan bahwa anak-anak yang pertumbuhannya agak lambat pada tiga tahun
pertama cenderung mengalami masalah pada masa kanak-kanak dan remaja.
Periode ini adalah
tahun-tahun berharga bagi seorang anak untuk mengenali berbagai macam fakta di
lingkungannya sebagai stimulans terhadap perkembangan psikomotor, kognitif
maupun sosialnya. Periode emas ini merupakan periode kritis bagi anak, dimana
perkembangan yang diperoleh sangat berpengaruh terhadap perkembangan periode
berikutnya hingga masa dewasa. Untuk itu rangsangan-rangsangan dari lingkungan
terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak.
Iman
Sebagai Ilmu Pertama
Kesadaran akan pentingnya memanfaatkan dan
memaksimalkan golden age telah dimiliki oleh banyak ibu. Kesadaran ini pula
yang membuat berbagai lembaga pendidikan pra sekolah laris manis diserbu para
orang tua yang peduli dengan masa depan anaknya. Lihatlah, berbagai lembaga
pendidikaan pra sekolah dari berbagai tingkatan umur banyak bermunculan di
berbagai tempat. Mulai dari taman penitipan anak usia 1 tahun, nursery untuk anak dibawah usia 5 tahun
atau taman kanak-kanak untuk anak usia 5-6 tahun.
Lembaga pendidikan pra
sekolah ini semakin laris seiring dengan pergeseran peran orang tua yang
terjadi di masyarakat. Ibu yang bekerja diluar rumah memanfaatkan fasilitas ini
untuk membantu tugas mereka mendidik anak-anaknya. Kebutuhan akan pendidikan
pra sekolah semakin mengerucut saat berkembang pemikiran bahwa pendidikan akan
berbuah maksimal jika ditangani oleh pihak yang berkompeten. Yaitu para guru
yang memang belajar untuk mengajar dan mendidik anak-anak. Sehingga dalam
perkembangannya, pendidikan pra sekolah ini dianggap sebagai bagian dari
pendidikan formal. Bahkan kurikulumnyapun disusun sedemikian rupa sehingga
berkesinambungan dan menunjang ke jenjang berikutnya.
Oleh karenanya dengan
mudah dapat kita temui lembaga pendidikan pra sekolah yang telah mengajarkan
bahasa Inggris atau bahasa asing lain, berhitung dengan cepat, metode menghafal
secara instan dan segala rupa keterampilan lainnya. Jam terbang anak-anak pun
banyak diisi dengan kegiatan les pelajaran, kursus pengelolaan bakat dan
semisalnya. Keinginan orang tua untuk mengoptimalkan golden age anak-anak tanpa
tersadar justru membuat mereka tereksploitasi dan terampas hak-haknya sebagai
anak. Padahal, setiap anak memiliki fase perkembangan yang berubah-ubah seiring
dengan perkembangan usianya.
Demikian halnya untuk
menentukkan kadar ilmu pendidikan yang harus diserap dan dipelajari oleh anak.
Proses pendidikan yang tidak memperhatikan perkembangan akal, jasmani dan
psikologis anak justru akan membahayakan perkembangan anak itu sendiri. Al
Abdary dalam kitab Madkhalusi asy-Syar’I asy Syarif mengkritik para orang tua
dan wali yang mengirimkan anak-anaknya ke sekolah pada usia kurang dari 7
tahun. Ia mengatakan “Dahulu para leluhur kita yang alim mengirimkan
putera-puteranya ke Kuttab (Majelis Ilmu) tatkala mereka mencapai usia 7 tahun.
Sejak usia tersebut orang tua diharuskan mendidik anak-anaknya mengenal shalat
dan akhlak mulia. Akan tetapi saat ini amat disesalkan bahwa anak-anak zaman
sekarang menuntut ilmu pada usia yang masih rawan (3-5tahun). Para pengajar
hendaknya hati-hati saat mengajar membaca pada anak-anak usia rawan ini, karena
dapat melemahkan tubuh dan akal pikirannya”.
Semestinya, sesuai dengan
fase perkembangannya, aspek-aspek yang perlu dikembangkan pada fase pendidikan
pra sekolah adalah aspek intelektual, emosional, jasmani, pergerakan motorik, estetik serta
aspek spiritual dan moral. Berdasarkan aspek-aspek tersebut model pembelajaran
yang tepat adalah bermain sambil belajar dan belajar sambil bermain. Pendidikan
pra sekolah diselenggarakan sebagai sarana untuk mengembangkan kesehatan fisik
anak. Maka sebaiknya dilembaga ini anak-anak diberi banyak kesempatan untuk
menggerakkan badannya, seperti berlari, melompat, berenang, dsb. Demikian
halnya untuk kebutuhan emosinya. Pendidikan pra sekolah harus mampu menjadi
tempat yang aman, tentram, tidak menakutkan dan menjadi sumber semangat bagi
mereka. Suasana seperti ini dibutuhkan untuk menumbuhkan gairah belajar mereka.
Demikian halnya dengan
bobot materi yang diajarkan pada tingkatan ini. Anak-anak usia dini belum
memiliki kemampuan untuk memahami konsepsi dan persepsi sehingga mereka tidak
mampu menerjemahkan pengetahuan yang dimilikinya kedalam aktifitas nyata.
Mereka baru mampu memikirkan hal-hal yang bisa tertangkap inderanya. Sehingga
pendidikan yang bisa kita berikan kepada mereka masih seputar hal-hal yang
dapat dikerjakan dan diindera. Seperti membiasakan mereka untuk berakhlak mulia,
bertutur kata yang sopan,membangun kerjasama dengan teman, mengenal Tuhan
dengan mengamati hal-hal disekitarnya,memupuk ketaatan dengan menjalankan
ibadah dsb. Usia dini merupakan tahapan yang tepat untuk mengenalkan hakikat
Tuhan dan nilai-nilai kebenaran.
Dengan demikian, usaha
kita mengenalkan semua ilmu kepada mereka secra dini sesungguhnya telah
melampaui kapasitas dan daya kemampuan anak-anak. Sekalipun pada akhirnya
mereka mengetahui atau hafal dengan ilmu yang kita ajarkan, namun belum tentu
mereka mampu memahami ilmu yang dia miliki.
Keluarga,
Pendidik Pertama Anak
Tidak ada perdebatan bahwa
golden age harus dimanfaatkan
sebaik-baiknya oleh para orang tua untuk menanamkan pendidikan. Hanya saja
diperlukan pemahaman tentang apa dan bagaimana masa golden age dapat
dioptimalkan. Bagi seorang muslim, pedoman untuk memanfaatkan golden age anak
tidak perlu dirisaukan karena Rasulullah SAW telah memberikan rambu-rambu.
Selain itu, pada diri dan kehidupan Rasulullah SAW telah ada contoh yang paling
tepat dalam pendidikan. Jadi sunnah dan hadist menjadi pedoman mendidik anak
berdasarkan Al-Qur’an, tentu penerapannya sesuai dengan perkembangan zaman.
Idealnya, pada masa golden
age orang tua dan keluarganyalah yang harus menjadi sekolah bagi anak-anaknya.
Kedua orang tua yang seharusnya merencanakan dan menyepakati pendidikan apa
saja yang harus diberikan kepada anak pada masa ini, sehingga keluarganyalah
yang semestinya menjadi tempat paling tepat sebagai institusi pelaksananya.
Karena ibu adalah sosok
yang sangat dekat dan yang pertama kali berinteraksi dengan anak, bahkan sejak
anak dalam kandungan ibu sudah mulai mempengaruhi fisik dan mentalnya dan
ketika anak lahir dan ibu pula yang menggoreskan warna dalam lembar-lembar
putihnya untuk pertama kali, maka semestinya ibu juga yang paling tepat untuk
melaksanakan tugas pendidikan pada masa emas ini. Sedangkan suami akan lebih
berperan sebagai partner yang handal dalam melakukan evaluasi.
Sesungguhnya anak bagaikan
‘radar’ yang dapat menangkap setiap obyek yang ada disekitarnya. Perilaku ibu
adalah kesan pertama yang ditangkap anak. Apabila seorang ibu memiliki
kepribadian yang agung dan tingkat ketaqwaan yang tinggi maka kesan pertama
yang masuk kedalam benak anak adalah kesan yang baik. Kesan awal yang baik ini
akan menjadi landasan yang kokoh bagi perkembangan kepribadian anak ke arah
ideal yang diinginkan.
Di samping itu, anak juga
membutuhkan figur contoh (qudwah)
dalam mewujudkan nilai-nilai yang ditanamkan kepadanya selama proses belajar di
masa kanak-kanak, sebab akal anak belum sempurna untuk melakukan proses
berfikir. Ia belum mampu menerjemahkan sendiri wujud nilai-nilai kehidupan yang
diajarkan kepadanya. Kekuatan figur ibu juga akan membuat anak mampu untuk
menyaring apa-apa yang boleh dan tidak boleh diambil dari lingkungannya. Karena
anak akan menjadikan apa yang diterima dari ibunya sebagai standar nilai. Figur
ibu seperti ini dapat kita temui pada diri Asma’ binti Abu Bakar. Figur Asma
sangat kuat mempengaruhi jiwa anaknya Abdullah bin Zubair. Para pakar ilmu
pendidikan mengajarkan bahwa keteladanan adalah media pendidikan yang paling
efektif dan berpengaruh dalam menyampaikan tata nilai kehidupan. Dalam hal ini
ibulah yang paling tepat untuk berperan sebagai contoh pertama bagi anak.
Bila kita meyakini bahwa golden age adalah masa paling berharga
bagi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak, maka selayaknyalah suami dan istri
akan bersama-sama memanfatkan waktu ini dengan mengoptimalkan segala kemampuan
dan keterbatasan yang ada. Rasulullah SAW telah memberi petunjuk kewajiban
orang tua dalam mendidik anak, termasuk pada masa emas. Maka, salah satu upaya
orang tua adalah dengan ikhlas untuk mencurahkan pikiran, dana dan waktu untuk
melakukan yang terbaik. Kitalah yang paling paham apakah upaya kita telah
maksimal. Dan upaya inilah yang akan menjadi bentuk tanggung jawab kita sebagai
pemegang amanah Allah.
*BIODATA
PENULIS
Nama :
NITA APRIYANI, S.Kom
Tanggal Lahir : 20 APRIL 1984
Unit Kerja : SMP NEGERI 2 SUMBERJAYA
NIP :
19840420 200901 2 005
No Hp :
085724722333
Tidak ada komentar:
Posting Komentar